Jumat, 22 April 2011

Suku Marind Hidup di Antara Busur dan Pacul

“Saya senang bertani (padi). Anak-anak di sini su pandai bertani,” ujar ibu tujuh anak ini menggambarkan aktivitas keseharian warga dusun Serapuh, Kampung Urumb, Distrik Semangga Merauke. Ia sendiri sudah melakoni kegiatan bercocok tanam sejak usia 10 tahun.
Siang itu,minggu (10/4),langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun sunyi, sebuah tempat di ujung timur nusantara. Kami menjangkau dusun ini setelah melintasi sabana serta menembus lebatnya pohon bus dan sela-sela musamus (rumah rayap).
Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir selatan Papua, kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak dan kahanggat (batang bamboo yang di runcingkan ) perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski demikian, hasrat berburu tetap menyala. Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb adalah sebagian warga Marind yang di cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani sejak 1962 saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orang tua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.
Berburu kangguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hal itu hanya di lakoni pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.
Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind Frederikus Gebze menuturkan, transformasi bermula pada awal 1900-an ketika gelombang pendatang masuk Merauke kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang di bawa Belanda. Di Merauke mereka dikenal dengan Jamer ( Jawa-Merauke).
Pertemuan itu membuat orang Marind - yang umumnya berpostur tegap, tinggi besar, berhidung mancung-mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan mulai dibuka disekitar pantai Merauke dan di-Kurik. Saat itulah, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan penanaman padi. Perkenalan suku Marind dengan sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 1965 sampai 1995. Pada 1985 peerintahan merelokasi keluarga Maring ke daerah transmigran dan membekali mereka dengan pertanian modern, dari pengolah tanah dengan pacul dan traktor, menabur benih, memupuk, hingga memanen.
Meski transformasi tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar permukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik dan Kumbe perlahan menyerap kecakapan budidaya. Vincentius Takai Maluze ( 43), warga kampung Urumb, mendapatkan 40 karung gabah 1 hektar (ha) sawahya setiap panen. Minimal dia mengantongi Rp 3, juta dari penjualan 1,2 ton beras.
Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, manjaring ikan, berburu, dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat (membuat deratan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa. Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind yang mendiami Kampung Yanggandur Torai Erambu, Sota, dan Rawa Biru di Distrik Sota.
Aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind asli, yaitu masuk-keluar hutan berburu rusa, babi, buaya, dan kangguru. Hasil buruan dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer.
Menurut Jabo Bukit, kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut karena lahan mereka dikapling pengusaha. Sektor pertanian memang menjadi fokus dan unggulan merauke. Merauke memiliki lahan pertanian potensial 2,5 juta ha dengan lahan basah1,9 juta ha. Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Merauke menerbitkan 46 izin investasi bidang pertanian meliputi 228.000 ha lahan, termasuk di tanah ulayat. Ironisnya, tanah ulayat sering dilepas dengan harga murah kepada pemilik modal. Banyak tanah ulayat di jual Rp 10 (sepuluh rupiah) per meter persegi karena iming-iming perusahaan memberi perumahan, pendidikan dan lapangan kerja.
Sebaliknya, harus dibuka juga fakta, tak semua investor sekedar mencari untung. Mereka eksplisit punya andil menggerakan perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Bayangkan, tapa investasi dan campur tangan pemodal dari Jakarta-dan masuknya teknologi baru-Merauke tentu sulit sekali berkembang. Susahnya, sebagian warga tidak memiliki ketekunan dan keuletan bertani. Ini wajar karena sekian generasi mereka diberkahi kemurahan alam, karena itu, seperti kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-anim Alberth Gebze Moyuend, sebagaian warga meninggalkan sawah mereka karena merasa taksesuai dengan kultur dan atdat. Tercatat lahan sawah yang ternbengkalai mencapai 34 persen dari 38.402 ha lahanpertanian di Merauke.
Pastor Andreas Fanumbi Pr, mendampingi masyarakat Marind di Distrik Semangga, melihat masyarakat Amrind mengalami benturan budaya. Mereka butuh pandamping untuk bergelut dengan eperubahan keadaan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi dengan melibatkan tiga tungku, yakni pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga. Pendidikan diperlukan. Bupati Merauke Romanus Mbaraka bertekad melindungi masyarakat Amrind. Ia menawarkan konsep penyertaan modal. Tanah adat yang kelak jadi lahanperusahaan di hitung sebagai penyertaan modal.
Menurt saya seharusnya warga pedalaman seperti ini lebih diperhatian dengan perlindunga, penyuluahan pendidikan dll supaya tidak mudah di pengaruhi.

Sumber:
Kompas (16 April 2011)

1 komentar:

  1. sebuah proses akulturasi menuju modernisasi masyarakat asli papua...thank yha mbak zulfa atas tulisannya yang semestinya menjadi acuan masyarakat asli papua lainnya di luar merauke...

    BalasHapus